Thursday, November 1, 2012

Wakaf


PENDAHULUAN

            Wakaf bukan merupakan hal asing bagi insan akademis dan masyarakat awam. Perkembangan kajian ilmu tentang wakaf senantiasa berlangsung seiring berkembangnya zaman. Berbagai pandangan dan ide pun muncul mewarnai perdebatan hokum wakaf di negeri ini juga di dunia pada umumnya.
            Dalam makalah ini kami mengupas mengenai wakaf tersebut di atas. Mengenai landasan hukumnya berikuit produk-produk hokum Negara yang mengatur tentangnya. Dalam kajian kami juga mengupad bagaiana penggunaan tanah wakaf itu dapat dialihkan dengan cara yang prosedural.

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakaf

            Wakaf menurut bahasa Arab berarti “Al-Habsu” yang berasal dari kata kerja “habasa-yahbisu-habsan”, mejauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan. Kemudian kata ini berkembang menjadi “habbasa” yang berarti mewakafkan harta karena Allah SWT.
            Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja “waqafa-yaqifu-waqfan” yang berarti berdiri atau berhenti.sedangkan wakaf menurut istilah syara’ yaitu menahan harta benda yang mungkin bisa diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (‘ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.
            Berbagai rumusan definisi ini dapat kita temukan dalam beberapa literatur lain  seperti yang dikutip oleh Abdurrahman,SH dari dfinisi Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Imam Muhammad, Maula Muhammad Ali serta Naziruddin Rahmat.
Sedangkan pengertian wakaf menurut pa yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) PP No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah miliki adalah :
“Perbuatan hukum sesorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk seklama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.
            Dari rumusan pengertian di atas terlihat bahwa dalam fiqh Islam, wakaf sebenarnya dapat meliputi berbagai benda walaupun berbagai riwayat /hadits menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tetapi berbagai ulama memahami bahwa wakaf non tanah pun boleh saja asal bendanya tidak tidak langsung musnah/habis ketika diambil manfaatnya.
            Menurut fiqh Islam yang berkembang dalam kalangan ahkus sunnah, dikatakan “sah kita mewakafkan binatang”. Demikian juga pendapat Ahmad dan menurut satu riwayat, juga Imam Malik.
            Wakaf telah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam dimanapun juga. Di Indonesia, lembaga ini telah menjadi penunjang utama perkembangan masyarakat. Hampir semua rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan lainnya dibangun diatas tanah wakaf.

B. Dasar Hukum Wakaf

Menurut Syafi’I, Malik dan Ahmad, wakaf it adalah suatu ibadat yang disyaria’atkan . Hal ini disimpulkan dari pengertian-pengertian umum ayat al-Quran maupun hadits yang secara khusus menceritakan kasus-kasus wakaf di zaman Rasulullah SAW.

1.      Wakaf dalam Al-Quran
Diantara dalil-dalil yang dijadikan sandaran hokum wakaf ialah:
a.       surat Al-Hajj ayat 77
”wahai orang-orang yang beriman, ruku’ dan sujudlah kamu dan sembahlah Tuhanmu serta berbuatlah kebaikan supaya kamu berbahagia”
b.      surat An-Nahl ayat 97
“barangsiapa berbuat kebaikan, laki-laki atau permpuan dan ia beriman, niscaya akan Aku beri pahala yang lebih bagus dari apa yang mereka amalkan”.
c.       surat Ali Imran ayat 92
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai”.
2.      Wakaf dalam hadits
Selain dari ayat-ayat yang mendorong manusia berbuat baik untuk kebaikan orang lain dengan membelanjakan atau menyedekahkan hartanya tersebut di atas, menurut hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim berasal dari Abu Harairah, seorang manusia yang meninggal dunia akan berhenti semua pahala amal perbuatannya kecualai pahala tiga amalan yaitu: 
   a.      Pahala amalan shodaqah jariyah (shodaqah yang amalannya tetap mengalir yang diberikannya selama ia masih hidup.
b.      Pahala ilmu yang bermanfaat (bagi orang lain) yang diajarkannya selama hayatnya.
c.    Doa anak (amal) sholeh yakni anaknya membalas guna orang tuanya dan mendoakan ayah ibunya kendatipun orang tuanya it telah tiada.
Para ahli sependapat bahwa yang dimaksud dengan (pahala) shodaqah jariyah dalam hadits it adalah (pahala) wakaf yang diberikannya dikala seseorang masih hidup.
Selain itu terdapat pula hadits mengenai mewakafkan harta syrikat dan barang bergerak:
“Dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata “Umar pernah berkata kepada Nabi SAW bahwa seratus bagia yang menjadi milikku di Khaibar it adalah harta yang belum pernah say peroleh yang sungguh lebih ku kagumi selain harta it, lalu sungguh aku berkehendak untuk menyedekahkan (mewakafkan)nya. Kemudian Nabi SAW menjawab “Tuhanlah pokoknya dan mewakafkan buah (hasilnya)”.
(H.R. An-Nasai).
Atas hadits tersebut Syarih Rahimullah berkata “bahwa perkataan seratus bagian …” dan seterusnya itu, oleh mushanif (Ibn Taimiyah) hadits ini dijadikan dalil atas sahnya mewakafkan harta syirkah. Sedangkan Bukhari menetapkan sahnya mewakafkan harta syirkah it dengan hadits Anas tentang kisah pembangunan masjid (Nabawi).
3.      PP No. 28 Tahun 1977
Peraturan Pemerintah tersebut berbigara tentang perwakafan tanah milik, didalamnya memuat istilah-istilah dalam perwakafan, syarat, fungsi dan lain sebagainya tentang wakaf secara umum.

C. Unsur Beserta Syarat Wakaf
            Ada empat unsur yang harus dipenuhi sebagai rukun dalam melaksanakan wakaf yakni:
1.      Waqif
2.      Benda yang diwakafkan
3.      Penerima wakaf (mauquf ‘alaih)
4.      Lafadz atau pernyataan penyerahan wakaf.
Wakif tidak selalu perorangan melainkan boleh juga berupa badan hokum, dalam hal badan hokum ini yang yang bertindak atas namanya ialah pengurusnya yang sah menurut hukum.
Bagi orang yang berwakaf, disyaratkan bahwa ia adalah orang yang ahli berbuat kebaikan dan wakaf dilakukannya secara sukarela, tidak karena dipaksa. Ahli berbuat baik disini maksudnya ialah orang yang berakal (tidak gila juga tidak bodoh), tidak mubadzir (karena harta orang mubadzir di bawah walinya) dan baligh, demikian penjelasan Moh. Zain bin Haji Otsman sebagaimana dikutip oleh Adijani al-Alabij. Syarat tersebut di atas berlaku juga bagi mauquf ‘alaih. Selain syarat yang sama dengan wakif, mauquf ‘alaih harus bertempat tinggal dikecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
Untuk barang yang diwakafkan, ditentukan beberapa syarat  sebagai berikut:
1.     Barang atau benda itu tidak rusak atau habis ketika diambil manfaatnya.
2.     Kepunyaan orang yang berwakaf. Benda yang bercampur haknya dengan orang lain pun boleh diwakafkan seperti halnya boleh dihibahkan atau pun disewakan.
3.     Bukan barang haram atau pun najis.
Syarat-syarat umum lainnya berkenaan denganwakaf:
1.      Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan kepentingan agama Islam
2.      Tidak diperkenankan memberikan batas waktu tertentu dalam perwakafan.
3.      Tidak mewakafkan barang yang menjadi larangan Alah yang berakibat pula pada munculnya fitnah.
4.      Kalau wakaf diberikan melalui wasiat, maka jumlah atau nilai harta yang diwakafkan tidak boleh lebih dari 1/3 dari jumlah maksimal yang boleh diwasiatkan.

D. Macam-Macam Wakaf
Macam wakaf terbagi atas dua bentuk yakni pertama wakaf keluarga atau wakaf ahli yakni wakaf yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seorang atau lebih, baik ia keluarga wakif maupun orang lain. Kedua, wakaf umum yakni wakaf yang diperuntukkan bagi kepentigan atau kemaslahatan umum.

E. Tata Cara Pelaksanaan Wakaf
            Fiqh wakaf tidak banyak membicarakan prosedur dan tata cara pelaksanaan wakaf secara rici. Tetapi PP No.  28 tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 mengatuir petunjuk yang lebih lengkap. Menurut pasal 9 ayat (1) PP No. 28 tahun 1977, pihak yanmg hendak mewakafkan tanahnya di haruskan atang dihadapan pejabat pembuat akta ikrar wakaf untukl melasanakan ikrar wakaf.
Kemudian pasal pasal 9 ayat (5) menentukan bahwa dalam melaksanakan ikrar, puhak yang mewakafkan tanah diharuskan embawa serta dan menyerahkan surat-surat berikut:
1.      sertifikat hak milik atau tanda bulti pemilikan tanah lainnya.
2.      surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa.
3.      surat keterangan pendaftaran tanah.
4.      izin dari bupati  atau walikota Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat.

F. Pendaftaran Tanah Wakaf
            Menurut pendapat Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad dianggap telah terlaksana dengan adanya lafadz tau sighat walaupun tidak ditetapkan oleh hakim. Lain halnya menurut Abi Hanifah bahwa benda wakaf belim terlepas dari milik wakif sampai hakim memberikan putusan yaitu mengmumkan barang wakaf tersebut.
Pendaftaran tanah wakaf diatur oleh pasal 10 ayat (1) sampai dengan (5_) PP No. 28 tahun 1977 dan bebrapa pasal lain alam Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978.

G. Perubahan Status dan Penggunaan Tanah Wakaf
            Pada dasarnya tanah wakaf tidak boleh dijual , diwarisi dan kepada pihak lain. Tetapi seandainya barang wakaf itu rusak, tidak diambil lagi manfaatnya, maka boleh digunakan untuk keperluan lainnya yang serupa, dijual dan dibelikan barang lain untuk meneruska wakaf tersebut.. hal ini didasarkan kepada kemaslahatan. Pengecualian ini haris dengan persetujuan Menteri Agama, dengan alasan karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti dikrarkan oleh wakif dan karena kepentingan umum.
            Persetujuan maupun penolakan atas permohonan nadzir baik permohonan untuk mengalihkan penggunaan tanah wakaf maupun permohonan perubahan status tanah wakaf oleh Kepala Kanwil Agama harus tertulis. Kemudia seperti ditentukan dalam pasal 11 ayat (3)  PP No. 28 tahun 1977, perubahan status dan penggunaan tanah wakaf itu harus dilaporkan oleh nadzir kepada Bupati atau walikota untuk diproses lebih lanjut.
PENUTUP
            Landasan hukum perwakafan selain tersebut dalam Al-Quran juga Hadits juga lebih rinci diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Wakaf juga Peraturan Menteri Agama.
            Kepemilikan atas barang wakaf harus memenuhi rukun wakaf yakni adanya wakif, maukuf alaih, barang wakaf dan lafadz ikrar. Lafadz wakaf harus diikrarkan dihadapan pihak yang berwenang.
Barang wakaf pada dasarnya tidak boleh dipindahgunakan atau dialihkan namun bila terjadi ketidaksesuaian antara ikrar aweal wakaf dengan keadaan barang wakaf maka alihpenggunaan tersebut diperbolehkan demi melihat kemaslahatan yang mungkin bias dicapai.  Persetujuan maupun penolakan atas pengajuan pengalihan penggunaaan barang wakaf serta perubahan status harus dibuat secra tertulis oleh pihak yang berwenang.

DAFTAR BACAAN
Drs. H. Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1992
Terjemahan Nailul Authar: Himpunan Hadits-Hadits Hukum
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: -, 2003
H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam,
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI, 1988

No comments:

Post a Comment