Saturday, December 8, 2012

Pemikiran Imam Komaini

Pemikiran Imam Komaini
Oleh : Ani Rahayu

PENDAHULUAN

Pada akhir tahun 70-an dunia diguncangkan oleh sebuah revolusi yang digerakkan oleh seorang ulama. Republik Iran yang begitu kuat di bawah kepemimpinan Syah akhirnya harus tumbang melalui perjuangan panjang ulama tersebut. Ulama itu, tak lain adalah Imam Khomeini, seorang sufi, teolog, fakih, filosof dan sekaligus politikus. Seorang pribadi besar, yang kokoh dalam pendirian dan keteguhan perjuangan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tanpa mengenal putus asa.
Ayatullah Khomeini lahir di Khomein. Khomein, merupakan dusun yang berada di Iran tengah. Keluarga Khomeini adalah keluarga Sayyid Musawi, keturunan Nabi melalui jalur Imam ketujuh Syi’ah, Imam Musa Al-Kazhim. Mereka berasal dari Neysyabur,  Iran timur laut. Pada awal abad kedelapan belas, keluarga ini bermigrasi ke India, dan mukim di kota kecil Kintur di dekat Lucknow di kerajaan Qudh, yang penguasanya adalah pengikut Syi’ah Dua Belas Imam. Kakek Sayed Ruhullah Khomeini yang bernama Sayyid Ahmad Musawi Hindi, lahir di Kintur . Keluarga kakeknya adalah keluarga ulama terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi Neysyaburi, yang karyanya, Abaqat Al-Anwar, jadi kebanggan Syi’ah India.
            Mulanya Imam Khomeini adalah seorang filsofot-‘arif dari Iran abad ketujuh belas. Nama aslinya adalah Shadr Al-Din Muhammad ibn Ibrahim Al-Syirazi. Beliau biasa dipanggil Mulla Shadra. Ayatullah Khomeini dikenal luas lewat torinya tentang empat perjalanan (al-ashfar al-arba’ah). Menurut teori ini, perjalanan manusia paripurna dalam kehiupan ini terdiri dari empat tahap. Pertama, perjalanan dari alam ciptaan menuju Allah. Kedua, perjalanan demi Allah. Ketiga, perjalanan kembali dari Allah menuju ciptaan, kali ini bersama Allah. Dan terakhir, keempat, perjalanan dalam ciptaan bersama Allah.
            Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana riwayat hidup Imam Khomeini yang sebagian besar masa hidupnya dihabiskan untuk “karir” sebagai pelajar, guru, penulis karya tasawuf dan lain sebagainya, maka kami pemakalah akan mencoba dengan keterbatasan pengetahuan kami untuk sedikit memaparkannya.

PEMBAHASAN

Imam Khomeini adalah seorang tokoh Islam yang pemikirannya tidak dapat dipungkiri memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan Islam itu sendiri di kemudian hari. Pemikiran-pemikiran Imam Ruhullah Ayatullah Khomeini yang lahir pada 20 Jumada Al-Tsaniyah 1320/24 September 1902 --bersamaan dengan ulang tahun kelahiran Siti Fathimah Al-Zahra bin Muhammad Saw.--sebagaimana tercantum dalam buku “Wasiat Sufi Imam Khomeini Kepada Putranya, Ahmad Khomeini”. Sebagai sebuah wasiat, tentu saja ia tak terlalu panjang dan mungkin bisa saya selesaikan dalam 20 hari. Isinya luar biasa mendalam karena kandungan tasawufnya. Pada saat yang sama, ia menyimpan emosi mendalam yang ada di hati penulisnya ketika menuangkan baris-baris tulisannya itu. Lebih dari itu, pilihan kata-katanya tak kurang puitis. Memang, hampir berkebalikan dengan kesan yang dimiliki banyak orang tentang tokoh ini, dia dikenal sejak mudanya sebagai seorang sufi --atau, seorang `arif, sebuah istilah bermakna hampir sama yang dipakai di Iran, tempat kelahiran dan kiprah sang tokoh. Bahkan, jauh sebelum namanya dikenal --dalam makna baik maupun buruk-- sebagai seorang faqih (ahli fiqih) dan seorang pemimpin revolusi --beliau adalah seorang murid dan penulis buku-buku sufi yang amat serius. Beberapa orang orientalis telah secara khusus dan mendalam mendedikasikan penelitian untuk mengeksplorasi sisi yang tak banyak dikenal dari tokoh kita ini.
            Imam Khomeini sering diidentikkan dengan fundamentalisme, kekerasan, dan autoritarianisme, sebaliknya dari menyebabkan penyangkalan dunia, justru menjadi basis bagi kegiatan-kegiatan keduniaannya. Cinta Allah sebagai sentral kehidupan seorang sufi, dalam tasawuf Imam Khomeini, mengambil wujud kecintaan kepada semua makhluk Allah. Dari sinilah kemudian terbentuk secara kuat keprihatinan Imam Khomeini terhadap kaum papa dan tertindas. Lebih dari itu, tasawufnya juga menekankan pada keluhuran akhlak dalam berhubungan dengan sesama. Meski tetap menekankan pada proses penyucian hati, sebagai satu-satunya bejana yang dapat menampung kebenaran-puncak, ciri penting lain tasawuf Imam Khomeini --bertentangan dengan kesan irasionalitas yang biasanya menempel pada disiplin ruhaniah ini-- adalah terpeliharanya apresiasi terhadap ilmu-ilmu rasional.
Kenyataannya, meski amat dipengaruhi oleh Ibn `Arab, tasawuf Imam Khomeini lebih dekat kepada `irfan (ilmu keTuhanan) dan Hikmah. Yang disebut belakangan ini adalah suatu aliran dalam filsafat Islam yang percaya bahwa kebenaran harus diperoleh lewat pengalaman spiritual (sufistik). Tetapi, pada saat yang sama, harus bisa diungkapkan dan dipertanggungjawabkan secara rasional. Secara garis besar dapat kita katakan bahwa tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis dari tasawuf. Tentu tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma'rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif. Yang kedua, tasawuf amali. Tujuannya adalah meningkatkan amal, akhlak. Tokohnya adalah Imam Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, dalam beribadah, harus mencari makna terdalam atau asrar, rahasia, ibadah. Berbicara mengenai asrar atau hikmah beribadah, maka berbicara soal tasawuf. Kata Imam Al-Ghazali, ibadah jangan dikerjakan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan kewajiban. Misalnya shalat, harus dicari asrar shalat. Jika tidak paham rahasia shalat, maka tidak akan mencapai tujuan shalat itu sendiri; mencegah dari fahsya wal munkar. Mungkin kita mengerjakan shalat lebih sekedar hanya untuk memenuhi kewajiban. Kalau tidak dilakukan, berdosa. Akibatnya, dengan mengerjakan shalat, menjadi sangat mekanistis. Tapi tidak pernah memikirkan fungsi, apakah makna terdalam dari shalat?
Di dalam tradisi Syiah, dua tasawuf ini juga diadopsi, tasawuf falsafi dan tasawuf  'amali. Imam Ayatullah Khomeini juga menekankan dua hal ini. Beliau pernah membuat komentar mengenai kitab yang ditulis Ibnu 'Arabi, Fushusul Hikam, tapi orang Syiah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf 'amali. Jadi dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Bahkan banyak juga orang Syiah yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan tasawuf 'amali.
Kecenderungan Ruhullah kepada hikmah dan `irfan bahkan tetap tampak nyata dalam berbagai upaya politiknya. Dalam Kasyf Al-Asrar, buku yang ditulisnya pada tahun 1945 untuk menjawab tuduhan-tuduhan kepada Syiah, ia tak hanya menghimpun ayat-ayat, hadits-hadits, dan argumentasi rasional, tetapi juga merujuk kepada para ahli hikmah dan `irfan, seperti Ibn Sina, Suhrawardi, Mulla Shadra. (Di buku yang sama ia mulai pula memperkenalkan pemikirannya yang belakangan termasyhur sebagai system).
 Pada Mei 1944, Ruhullah Musawi menerbitkan proklamasi-politiknya yang pertama. Ia memulainya dengan mengutip Al-Quran (QS Saba [34]:46), Katakan: "Aku memerintahkan kepadamu satu hal saja --yakni engkau bangkit demi Allah, berpasangan atau sendiri, kemudian berpikirlah." Ayat yang sama jugalah yang membuka kitab Manazil Al-Sa'irin karya Anshari --suatu buku pegangan pelancongan spiritual yang amat disukai Ruhullah Khomeini sejak masa-masa belajarnya dengan Shahabadi. "Bangkit demi Allah" dalam buku itu oleh Anshari didefinisikan sebagai "bangun dari tidur yang melenakan dan bangkit dari jurang ketakberdayaan". Sejalan dengan itu, Ruhullah Khomeini menyatakan bahwa dengan ayat ini "Allah `Azza wa Jalla telah menetapkan kebebasan umat manusia dari sifat kegelapan alam menuju titik terjauh kemanusiaan sejati", sedemikian sehingga perintah yang terkandung di dalamnya menjadi "jalan satu-satunya untuk reformasi di dunia ini". Selanjutnya, Ruhullah Khomeini menyatakan bahwa terciptanya kondisi-menyedihkan kaum Muslim merupakan akibat "bangkitnya mereka demi jiwa syahwaniyah" (sebuah istilah teknis dalam filsafat--Ym), dan bahwa hanya dengan "kebangkitan demi Allah"-lah persoalan-persoalan itu bisa diatasi. Di bidang fiqih pun, ajaran-ajarannya diwarnai dengan `irfan. Mengutip Sayyid Ahmad Fihri lagi, Imam Khomeini "cakap dalam mendemonstrasikan keselarasan syariah dengan logika `irfan sebagaimana juga keselarasan `irfan dengan logika syariat".
Ayatullah Khomeini pernah tinggal di pengasingan di Najaf, pada tahun 1972 di sana beliau menjalankan tugasnya untuk mendidik murid-muridnya dalam hal akhlak dan keruhanian dengan memberikan kuliah tentang "jihad besar", yakni perang melawan hawa nafsu. Penting untuk diketahui bahwa kuliah-kuliah mengenai masalah ini disampaikannya setelah ia menyelesaikan serangkaian kuliah lain mengenai sistem politik wilayah al-faqih, dan bahwa risalah Jihad Al-Akbar ini dianggapnya sebagai pelengkap bagi rangkaian kuliahnya yang terdahulu itu. Bagi Ayatullah Khomeini, pendirian pemerintahan Islam tergantung dan ditujukan pada penyucian spiritual masyarakat Muslim dan para pemimpinnya, yakni para ulama. Kejayaan dalam jihad kecil --yakni perang atau revolusi yang sesungguhnya-- sepenuhnya terkait dengan upaya-upaya jihad akbar ini.
Sejumlah besar proklamasi dan pengarahan Ayatullah Khomeini mengenai berbagai masalah dan krisis aktual masa-masa itu yang diungkapkannya sebelum dan setelah Revolusi, yang dikumpulkan dalam 22 jilid buku berjudul Shahifa-yi Nur, juga mengandung banyak rujukan kepada concern-concern `irfani dan akhlaki. Indeks tematik Shahifa-yi Nur mendaftar tak kurang dari 700 paragraf panjang-pendek yang berhubungan dengan `irfan. Misalnya, pada 22 Desember 1979, ketika berpidato di depan masyarakat Qum, Ayatullah Khomeini menyatakan bahwa sukses Revolusi adalah berkat "orientasi rakyat Iran kepada kehadiran Ilahi".  
            Belakangan, pada masa agresi Irak, sang Ayatullah berulang-ulang menyebut para syuhada sebagai telah pergi menuju "pertemuan dengan Allah" (liqa' Allah). Hal ini penting jika dilihat kaitannya dengan risalah kecil yang pernah ditulisnya --mengenai salah satu tema penting `irfan ini-- di sekitar tahun 1930. Risalah ini diterbitkan sebagai suplemen bagi risalah lebih panjang karya gurunya pada waktu itu, Aqa Javad Maliki Tabrizi, mengenai masalah yang sama. Dalam 40 hadits ia membahas soal ini secara lebih panjang lebar dengan menerangkan pertemuan dengan Allah sebagai bukan (bagian) pengetahuan rasional tentang esensi Ilahi, melainkan "suatu penyaksian (syuhud) `irfani yang menyeluruh yang dicapai lewat penglihatan batin (bashirah)". Dia mengaitkannya dengan bagian dari Munajat Sya'baniyah --yang membuka kata Pendahuluan ini. Artinya, Ayatullah Khomeini menganggap bahwa dengan kematian mereka, para syuhada itu telah mengoyak "hijab-hijab (yang menutupi) cahaya demi mencapai sumber Keagungan (Allah Swt.)".
Di atas semuanya itu, bukti paling kuat keterkaitan Ayatullah Khomeini terhadap `irfan di masa-masa pasca-Revolusi adalah kuliah-umumnya di depan televisi mengenai tafsir Surah Al-Fatihah pada tahun 1979, edisi Indonesia telah diterbitkan oleh Penerbit Mizan berjudul Rahasia Basmalah dan Hamdalah, 1994. Meski pada saat itu Republik Islam Iran yang baru berdiri masih menghadapi masalah-masalah politik yang amat serius, Ayatullah Khomeini --lewat acara televisinya itu-- masih merasa perlu untuk menguraikan topik-topik kunci dalam `irfan, khususnya mengenai modus-modus tajalliyat (penampakan) Allah dan makna Asma-Nya.
Bahkan Ayatullah Khomeini merasa perlu membawa-bawa persoalan `irfan ini dalam persoalan politik luar negeri. Dalam suratnya kepada Mikhail Gorbachev, pemimpin Uni Soviet, bertanggal 4 Januari 1988, ia tidak saja meramalkan keruntuhan Komunisme. Lebih jauh ia memperingatkan Gorbachev mengenai kejatuhan negerinya ke dalam kekacauan spiritual dan etis. Untuk mengatasi persoalan negerinya, Khomeini mengundang para pakar Soviet ke Qum untuk mempelajari pemikiran para hukama Islam, seperti Ibn Sina, Suhrawardi, Mulla Shadra, dan Ibn `Arabi.
Akhirnya, kiranya perlu disinggung serba sedikit beberapa dokumen yang ditulis Ayatullah Khomeini menjelang wafatnya. Pertama adalah wasiatnya untuk rakyat Iran, yang diterbitkan pada 3 Juni 1989. Secara umum wasiat ini berisi nasihat sang Imam kepada berbagai kelompok rakyat Iran dan peringatan mengenai masalah-masalah yang mungkin mereka hadapi sepeninggalnya. Yang menarik, di samping mengutip hadits al-tsaqalayn, dalam pembukaan wasiatnya itu Ayatullah Khomeini merujuk kepada istilah "nama yang terpelihara" (al-ism al-musta'tsar) Allah. Makna istilah ini, yang aslinya terdapat dalam salah satu munajat Nabi Muhammad SAW., dapat diringkaskan sebagai nama (atau rangkuman nama-nama) Tuhan yang terkait dengan sifat-sifat-Nya dan tak akan pernah terungkap karena "ditahan" dalam khazanah pengetahuan-tersembunyi Allah mengenai Dirinya Sendiri. Seperti dinyatakan oleh Ayatullah Muhammadi Gilani, rujukan Ayatullah Khomeini kepada "nama-nama yang terpelihara" ini bermakna bahwa ia ingin mendorong penanaman `irfan dikalangan bangsa Iran sebagai bagian tak terpisahkan dari warisannya. Bahwa, dengan merujuk kepadanya dan juga kepada asma-Nya yang lain, ia seolah ingin menunjukkan bahwa bahkan perjuangan sosial-politik --yang menjadi kandungan-utama wasiatnya itu-- selalu harus diidentikkan dengan aktus-aktus (tindakan-tindakan) Ilahi dan ditumbuhkan atas akar `irfani sedemikian.
Di atas semuanya itu, yang nyata-nyata bersifat `irfani adalah wasiatnya kepada menantu perempuannya, Fathimah Thabathaba'i, dan putranya, Sayyid Ahmad Khomeini, serta puisi-puisi yang ditulisnya. Yang disebut terakhir ini seolah merupakan ungkapan untuk menyambut tibanya persatuan antara dirinya dengan Tuhan kekasihnya, sesuatu yang selalu didambakannya.
Selain konsen dengan masalah ilmu keTuhanan, Imam Khomweini juga begitu konsen terhadap kepentingan wanita, kedudukannya, martabatnya, haknya, keberadaannya serta tak lupa pula kewajiban yang menyertai hak-hak wanita tersebut. Pidato-pidato Imam khomeini senantiasa tidak pernah luput berbicara mengenai wanita, setidaknya berupa pesan singkat tentang kewanitaan.[4]
            Imam Khomeini telah menyaksikan sendiri munculnya asumsi-asumsi konservatif yang melihat wanita sebagai unsur yang lemah yang harus disembunyikan dari pandangan banyak orang. Di sisi yang lain, dengan kejeniusannya yang mengagumkan beliau mengetahui dengan baik peranan yang harus dimainkan oleh wanita yang diinginkan oleh Syi’ah (mantan penguasa Iran) dan kolonial untuk merusak masyarakat Islam dan menjadikannya mundur, sehingga wanita kehilangan jati dirinya dan putus asa serta merasa disia-siakan.

PENUTUP
Kesimpulan

Dari pemaparan pada pembahasan makalah kami diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Imam Khomeini merupakan tokoh Islam yang pemikirannya memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan Islam. Salah satunya dibidang ketasawufan, yang teorinya-dalam bidang tersebut-dikenal luas,yaitu tentang empat perjalanan (al-ashfar al-arba’ah). Imam Khomeini lebih dekat kepada `irfan (ilmu keTuhanan) dan Hikmah. Selain konsen dengan masalah ilmu keTuhanan ini, Imam Khomweini juga begitu konsen terhadap kepentingan wanita, kedudukannya, martabatnya, haknya, keberadaannya serta tak lupa pula kewajiban yang menyertai hak-hak wanita tersebut. Pidato-pidato Imam khomeini senantiasa tidak pernah luput berbicara mengenai wanita, setidaknya berupa pesan singkat tentang kewanitaan.


DAFTAR PUSATAKA

Yamani, 2002, Wasiat Sufi Imam Khomeini Kepada Putranya, Ahmad Khomeini,  Bandung : Mizan.
http://abatasya.net/content/view/479/84, email tertanggal 23 January 2006.
Al-Kaff, 2004,Muhammad Abdul Kadir, Kedudukan Wanita Dalam Pandangan Imam Khomeini Terj. Dari “Makanah Al-Mar’ah fi Fikr al Imam al Khomeini”, Jakarta: Lentera Basritama.


No comments:

Post a Comment