Istishab
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar bekakang
Dalam menetapkan hukum yang tidak ada nasnya dalam Al-quran dan As-sunah
para ahli mengerahkan segenap kemampuan
nalarnya untuk menetapkan suatu hukum yang disebut ijtihad. Dalam berijtihad,
para mujtahid itu merumuskan cara atau metode dalam berijtihad. Ada beberapa macam metode
ijtihad hasil rumusan mujtahid. Diantaranya : Istihsan, Istishab, Mashlahah
Mursalah, `Urf, Sadduzara`i, Mazhab Sahabat dan Syar`u man Qablana. Dari
sekian banyak metode atau cara ijtihad yang dikemukakan tidak semunya
disepakati penggunaanya oleh ulama, dalam berijtihad seringkali hasil ijtihad
mereka berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut ditentukan oleh jenis
petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam
berijtihad.
Dengan metode-metode tersebut para ulama banyak mengemukakan
kedah-kaedah ushul untuk mempermudah menemukan hukum yang tidak ada nasnya
dalam alquran maupun hadist.
1.2. Batasan
Masalah
Dari
uraian singkat tersebut diatas jelas bahwa terdapat banyak cara atau metode
yang digunakan para mujtahid untuk berijtihad di antaranya yaitu, Istihsan,
Istishab, Mashlahah Mursalah, `Urf, Sadduzara`i, Mazhab Sahabat dan Syar`u man
Qablana. Namun dalam hal ini fokus pembahasan hanya sekitar Istishab.
1.3. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang dapat diambil dari permasalahan Istishab yaitu :
-
Apa pengertian Istishab ?
-
Bagaimana kehujjahan Istishab ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Istishhab
Istishhab menurut bahasa berasdal dari kata subhah
yang berarti menemani atau menyertai. Namun sebagian buku ushul menyatakan
Istishhab menurut bahasa sebagai berikut :
1. Ilmu
ushul fiqih oleh Bapak Prof. Dr. H. Rahmat Syafi’i, M.A “Mengakui adanya
hubungan perkawinan”
2. Ushul
fiqih oleh Bapak Prof. Mohammad Abu Zahra “ Persahabatan dan kelanggenan
persahabatan”[1]
3. Ilmu
ushul fiqih oleh syekh Abu wahab Khallaf “ Pengakuan adanya perhubungan“[2]
Sedangkan menurut istilah
Istishhab adalah Hukum terhadap Sesutu dengan keadaan yang ada sebelumnya,
sampai adanya dalil, untuk mengubah keadaan itu. atau menjadikan hukaum yang
tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang, sampai ada dalil
muntuk mengubahnaya.
Dari pengertian diatas, mungkin susah dipahami, sehingga memerlukan
contoh yang kongkrit, seorang mahasiswa misalnya menyandang predikat mahasiswa
apabila dia diketahui memasuki bangku kuliah, predikat tetap melekat padanya
berdasrkan istishab sampai ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan status,
untuk mendapatkan predikat mahasiswa tersebut, tidak perlu ditetapkan setiap
tahun atau setiap bulan.
Istishab merupakan salah satu hal yang menjadi peredebatan para ulama,
didalam pemberlakuan menjadi sumber hukum dalam mengistimbatkan hukum. Memang
secara akal sehat dengan mudah dapat mendukung penggunaan Istishab, sebagai
contoh : “ Apabila si Fulan jelas menjadi suami resmi dari seorang perempuan,
maka dengan sendirinya berarti antara kedua orang terjalin ikatan perkawinan,
sampai terjadi perceraian, Istishhab bisa diterima sebagai sumber hukum dilihat
dari segi syara’ yaitu ternyata berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum syara
disimpulkan bahwa hukum-hukum itu tetap berlaku sesuai dengan dalil yang ada
sampai ada dalil yang lain mengubahnya. Anggur memabukka, berdasarkan ketetapan
dan syara’ adalah minuman haram kecuali apabilah telah berubah sifatnya, yakni
iskar, baik dicampuran atau berubah dengan sendirinya menjadi cuka.
Dengan Istishab ulama banyak menetapkan kaeadah ushul, yang dijadikan sebagai
pertimbangan dalam menetapkan sesuatu hukum. Adapun macam-macam istishab diklasifikasikan
memenjadi dua macam yaitu :
pertama, istishab yang melangsungkan berlakunya hukum
akal mengenai kebolehan atau bebas asal, pada saat tidak dijumpainya dalil yang
mengubahnya. Segala macam makanan dan minuman yang tidak terdapat dalil syara’ tentang
keharamannya, adalah mubah atau halal, sebab Allah menciptakan segala sesuatu
dibumi ini agar dapat diambil mamfaatnya oleh manusia. Hal ini sesuai dengan
kaedah ushul fiqih yang dibangun oleh ulama :
ﺍﻥﺍﻻﺼﻝﻓﻰﺍﻻﺸﻴﺎﺀﺍﻻﺒﺎﺤﺔ
Artinya
: Sesugguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah kebolehan.[3]
Dan ini
juga sesuai dengan Firman Allah dalam Al-qu’an dalam surah Al-baqarah
ﻫﻭﺍﻠﺫﻯﺨﻠﻕﻠﻜﻡﻤﺎﻔﻰﺍﻻﺭﺽﺠﻤﻴﻌﺎ
Arinya : “Dialah Allah Yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu..”(al-baqarah :29)
Kedua, Istishab yang melangsungkan berlakunya hukum
syara’ berdasarkan sesuatu dalil, dan tidak ada dalil yang lain yang
mengubahnya, misal, jika seorang telah berwudhu, kemudian ragu –ragu apakah
wudhunya telah batal atau belum maka ia dihukumi belum batal, dengan dasar
keadaan wudhu sebelumnya yang diyakini. Adapun kaedah yang dibangun oleh ulama
yang berhubungan dengan hal ini yaitu :
ﺍﻠﻴﻗﻴﻥﻻﻴﺯﺍﻝﺒﺎﻠﺸﻙ
Artinya : Sesuatu yang meyakinkan tidak hilan
karena keraguan.
Walaupu ulama yang lain menberikan tanggapan yang berbeda pula mengenai
macam-macam istishab, mereka ada yang membagi istishab kedalam tiga macam,
namun hal ini tidak menjadi persoalan karena semua macam-macam istishab
tersebut yang diungkapkan oleh para ulam memiliki makna yang sama.
2.2. Kehujjahan Al-Istishhab
Mengenai
kehujjahan Istishhab para ulama berbeda pendapat ada yang menerima al-istishhab
dan ada yang menolak al-istishhab. Argumen ulama yang menerima Istishhab
adalah bahwa dalam muamalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat
yang sudah berlaku di antara mereka, ia dapat dijadikan dasar menentukan hokum
tersebut selama tidak ada dalil yang mengubahnya, hal ini sesuai dengan
Al-quran surah Al-barah ayat 29.
Ulama yang menerima al-istishhab dapat
dibedakan menjadi tiga :
a. Jumhur ulama yang dipelopori
oleh imam malik, sebagian ulama syafi’iah dan hanafiah berpendapat bahwa
istishhab dapat dijadikan hujjah ketika tidak ada nas atau dalil dari
Al-quaran,hadist, ijmak,qias. hukum yang ada tetap berlaku sepanjang belum ada
dalil yang mengubahnya
b. Sebagian ulama Hanafi’ah dan
Syafi’ah.berpendapat bahwa istishhab bukankah dalil untuk menentukan hukum yang
sekarang, ia sekedar mengetahui hukum masa lalu. Sedangkan untuyk menentukan
hukumnya sekarang ini, ia memerlukan dalil.
c. Jumhur ulama hanafiah
berpendapat bahwa istishhab adalah untuk menetapkan (dirinya sendiri) dan bukan
untuk menetapkan yang lain.
Sedangkan argument ulama
yang menolaknya adalah bahwa penentuan halal, haram, dan sucinya sesuatu
memerlukan dalil yang dalil itu tidak dapat kecuali dari “syari’’. Dalil-dalil
syari tercakup dalam nas Alquran dan Sunnah, ijmak, dan Qias. Dan istishhab
tidak masuk dalil syari.
Istishhab
merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Dan para ahli ilmu ushul
figih berkata seungguhnya istishhab merupakn akhir tempat beredarnya fatwa. Ia
adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya,
sepanjang tidak ada dalil yang mengubahnya.
Istishhab tidak
menetapkan sesuatu hukum baru lagi sesuatu hal, tetapi hanya melangsungkan
berlakunya hukum akal tentang kebolehan (Ibahah) atau bebas asal (bar’at
al-ashaliyah) atau melangsungkan hukum syara’ tentang sesuatu atas dasar
terpenuhinya sebab terjadinya hukum. Oleh karena itu istishab hanya menjadi
hujjah untuk melangsungkan hokum yang telah ada, tidak untuk menetapkan hukum
baru yang sebelumnya belum ada.[4]
BAB II
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Istishhab adalah Hukum terhadap Sesutu dengan keadaan yang ada
sebelumnya, sampai adanya dalil, untuk mengubah keadaan itu. atau menjadikan
hukaum yang tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang, sampai
ada dalil muntuk mengubahnaya.
Istishhab ada dua macam yaitu : pertama, istishhab yang
melangsungkan berlakunya hukum akal mengenai kebolehan atau bebas asal, pada
saat tidak dijumpainya dalil yang mengubahnya. Segala macam makanan dan minuman
yang tidak terdapat dalil syara’ tentang keharamannya, adalah mubah atau halal,sesuai
dengan kaedah ushul.
ﺍﻥﺍﻻﺼﻝﻓﻰﺍﻻﺸﻴﺎﺀﺍﻻﺒﺎﺤﺔ
Artinya
: Sesugguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah kebolehan.
Kedua, Istishhab yang
melangsungkan berlakunya hukum syara’ berdasarkan sesuatu dalil, dan tidak ada
dalil yang lain yang mengubahnya
Istishhab tidak menetapkan sesuatu hukum
baru lagi sesuatu hal, tetapi hanya melangsungkan berlakunya hukum akal tentang
kebolehan (Ibahah) atau bebas asal (bar’at al-ashaliyah) atau melangsungkan hukum
syara’ tentang sesuatu atas dasar terpenuhinya sebab terjadinya hukum.
3.2. Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
~
Abu
Zahra Muhammad ,Prof.,2002, Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus,
~ Khallaf,Abdul
Wahhab ,Prof.994, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang,
Dina Utama,
~ Mubarok, Jain,
2002, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta,
UII Press,
~ Rahmat,Jalaluddin, 1994, Ijtihad
Dalam Sorotan, Bandung, Mizan,
No comments:
Post a Comment