Pemikiran Imam
Komaini
Oleh : Ani Rahayu
PENDAHULUAN
Pada akhir tahun 70-an dunia diguncangkan oleh
sebuah revolusi yang digerakkan oleh seorang ulama. Republik Iran
yang begitu kuat di bawah kepemimpinan Syah akhirnya harus tumbang melalui
perjuangan panjang ulama tersebut. Ulama itu, tak lain adalah Imam Khomeini,
seorang sufi, teolog, fakih, filosof dan sekaligus politikus. Seorang pribadi
besar, yang kokoh dalam pendirian dan keteguhan perjuangan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tanpa mengenal
putus asa.
Ayatullah Khomeini lahir di Khomein. Khomein,
merupakan dusun yang berada di Iran
tengah. Keluarga Khomeini adalah keluarga Sayyid Musawi, keturunan Nabi melalui
jalur Imam ketujuh Syi’ah, Imam Musa Al-Kazhim. Mereka berasal dari Neysyabur, Iran
timur laut. Pada awal abad kedelapan belas, keluarga ini bermigrasi ke India,
dan mukim di kota kecil Kintur di dekat Lucknow di kerajaan Qudh, yang
penguasanya adalah pengikut Syi’ah Dua Belas Imam. Kakek Sayed Ruhullah
Khomeini yang bernama Sayyid Ahmad Musawi Hindi, lahir di Kintur . Keluarga kakeknya
adalah keluarga ulama terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi Neysyaburi, yang
karyanya, Abaqat Al-Anwar, jadi
kebanggan Syi’ah India.
Mulanya
Imam Khomeini adalah seorang filsofot-‘
arif
dari Iran
abad ketujuh belas. Nama aslinya adalah Shadr Al-Din Muhammad ibn Ibrahim
Al-Syirazi. Beliau biasa dipanggil Mulla Shadra. Ayatullah Khomeini dikenal
luas lewat torinya tentang empat perjalanan (
al-ashfar al-arba’ah). Menurut teori ini, perjalanan manusia
paripurna dalam kehiupan ini terdiri dari empat tahap.
Pertama, perjalanan dari alam ciptaan menuju Allah.
Kedua, perjalanan demi Allah.
Ketiga, perjalanan kembali dari Allah
menuju ciptaan, kali ini bersama Allah. Dan terakhir,
keempat, perjalanan dalam ciptaan bersama Allah.
Untuk
mengetahui lebih lanjut bagaimana riwayat hidup Imam Khomeini yang sebagian
besar masa hidupnya dihabiskan untuk “karir” sebagai pelajar, guru, penulis
karya tasawuf dan lain sebagainya, maka kami pemakalah akan mencoba dengan
keterbatasan pengetahuan kami untuk sedikit memaparkannya.
PEMBAHASAN
Imam
Khomeini adalah seorang tokoh Islam yang pemikirannya tidak dapat dipungkiri
memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan Islam itu sendiri di kemudian
hari. Pemikiran-pemikiran Imam Ruhullah Ayatullah Khomeini yang lahir pada 20
Jumada Al-Tsaniyah 1320/24 September 1902 --bersamaan dengan ulang tahun
kelahiran Siti Fathimah Al-Zahra bin Muhammad Saw.--sebagaimana tercantum dalam
buku “Wasiat Sufi Imam Khomeini Kepada Putranya, Ahmad Khomeini”
.
Sebagai sebuah wasiat, tentu saja ia tak terlalu panjang dan mungkin bisa saya
selesaikan dalam 20 hari. Isinya luar biasa mendalam karena kandungan
tasawufnya. Pada saat yang sama, ia menyimpan emosi mendalam yang ada di hati
penulisnya ketika menuangkan baris-baris tulisannya itu. Lebih dari itu,
pilihan kata-katanya tak kurang puitis. Memang, hampir berkebalikan dengan
kesan yang dimiliki banyak orang tentang tokoh ini, dia dikenal sejak mudanya
sebagai seorang sufi --atau, seorang
`arif, sebuah istilah bermakna
hampir sama yang dipakai di Iran, tempat kelahiran dan kiprah sang tokoh.
Bahkan, jauh sebelum namanya dikenal --dalam makna baik maupun buruk-- sebagai
seorang
faqih (ahli fiqih) dan seorang pemimpin revolusi --beliau adalah
seorang murid dan penulis buku-buku sufi yang amat serius. Beberapa orang
orientalis telah secara khusus dan mendalam mendedikasikan penelitian untuk
mengeksplorasi sisi yang tak banyak dikenal dari tokoh kita ini.
Imam
Khomeini sering diidentikkan dengan fundamentalisme, kekerasan, dan autoritarianisme,
sebaliknya dari menyebabkan penyangkalan dunia, justru menjadi basis bagi
kegiatan-kegiatan keduniaannya. Cinta Allah sebagai sentral kehidupan seorang
sufi, dalam tasawuf Imam Khomeini, mengambil wujud kecintaan kepada semua
makhluk Allah. Dari sinilah kemudian terbentuk secara kuat keprihatinan Imam
Khomeini terhadap kaum papa dan tertindas. Lebih dari itu, tasawufnya juga
menekankan pada keluhuran akhlak dalam berhubungan dengan sesama. Meski tetap
menekankan pada proses penyucian hati, sebagai satu-satunya bejana yang dapat
menampung kebenaran-puncak, ciri penting lain tasawuf Imam Khomeini
--bertentangan dengan kesan irasionalitas yang biasanya menempel pada disiplin
ruhaniah ini-- adalah terpeliharanya apresiasi terhadap ilmu-ilmu rasional.
Kenyataannya, meski amat
dipengaruhi oleh Ibn `Arab, tasawuf Imam Khomeini lebih dekat kepada
`irfan
(
ilmu keTuhanan) dan Hikmah.
Yang disebut belakangan ini adalah suatu aliran dalam filsafat Islam yang
percaya bahwa kebenaran harus diperoleh lewat pengalaman spiritual (
sufistik).
Tetapi, pada saat yang sama, harus bisa diungkapkan dan dipertanggungjawabkan
secara rasional. Secara garis besar dapat kita katakan bahwa tasawuf dibagi dua.
Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis
dari tasawuf. Tentu tasawuf ini berkenaan dengan konsep
mahabbah,
ma'rifah,
hulul,
wihdatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana
corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif.
Tasawuf yang falsafi juga spekulatif. Yang kedua, tasawuf amali. Tujuannya
adalah meningkatkan amal, akhlak. Tokohnya adalah
Imam
Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, dalam beribadah, harus mencari makna
terdalam atau
asrar, rahasia, ibadah. Berbicara mengenai asrar atau
hikmah beribadah, maka berbicara soal tasawuf. Kata Imam Al-Ghazali, ibadah
jangan dikerjakan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan kewajiban. Misalnya
shalat, harus dicari asrar shalat. Jika tidak paham rahasia shalat, maka tidak
akan mencapai tujuan shalat itu sendiri; mencegah dari
fahsya wal munkar.
Mungkin kita mengerjakan shalat lebih sekedar hanya untuk memenuhi kewajiban.
Kalau tidak dilakukan, berdosa. Akibatnya, dengan mengerjakan shalat, menjadi
sangat mekanistis. Tapi tidak pernah memikirkan fungsi, apakah makna terdalam
dari shalat?
Di dalam tradisi Syiah, dua
tasawuf ini juga diadopsi, tasawuf falsafi dan tasawuf
'amali.
Imam Ayatullah
Khomeini juga menekankan dua hal ini. Beliau pernah membuat komentar
mengenai kitab yang ditulis Ibnu 'Arabi,
Fushusul Hikam, tapi orang
Syiah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf 'amali. Jadi dalam tasawuf
tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Bahkan banyak juga orang Syiah
yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan tasawuf 'amali.
Kecenderungan Ruhullah kepada
hikmah dan `irfan bahkan tetap tampak nyata dalam berbagai upaya
politiknya. Dalam Kasyf Al-Asrar, buku yang ditulisnya pada tahun 1945
untuk menjawab tuduhan-tuduhan kepada Syiah, ia tak hanya menghimpun ayat-ayat,
hadits-hadits, dan argumentasi rasional, tetapi juga merujuk kepada para ahli hikmah
dan `irfan, seperti Ibn Sina, Suhrawardi, Mulla Shadra. (Di buku
yang sama ia mulai pula memperkenalkan pemikirannya yang belakangan termasyhur
sebagai system).
Pada Mei 1944, Ruhullah Musawi menerbitkan
proklamasi-politiknya yang pertama. Ia memulainya dengan mengutip Al-Quran (QS
Saba [34]:46), Katakan: "Aku memerintahkan kepadamu satu hal saja
--yakni engkau bangkit demi Allah, berpasangan atau sendiri, kemudian
berpikirlah." Ayat yang sama jugalah yang membuka kitab Manazil
Al-Sa'irin karya Anshari --suatu buku pegangan pelancongan spiritual yang
amat disukai Ruhullah Khomeini sejak masa-masa belajarnya dengan Shahabadi.
"Bangkit demi Allah" dalam buku itu oleh Anshari didefinisikan
sebagai "bangun dari tidur yang melenakan dan bangkit dari jurang
ketakberdayaan". Sejalan dengan itu, Ruhullah Khomeini menyatakan bahwa
dengan ayat ini "Allah `Azza wa Jalla telah menetapkan kebebasan
umat manusia dari sifat kegelapan alam menuju titik terjauh kemanusiaan
sejati", sedemikian sehingga perintah yang terkandung di dalamnya menjadi
"jalan satu-satunya untuk reformasi di dunia ini". Selanjutnya,
Ruhullah Khomeini menyatakan bahwa terciptanya kondisi-menyedihkan kaum Muslim
merupakan akibat "bangkitnya mereka demi jiwa syahwaniyah"
(sebuah istilah teknis dalam filsafat--Ym), dan bahwa hanya dengan
"kebangkitan demi Allah"-lah persoalan-persoalan itu bisa diatasi. Di
bidang fiqih pun, ajaran-ajarannya diwarnai dengan `irfan. Mengutip
Sayyid Ahmad Fihri lagi, Imam Khomeini "cakap dalam mendemonstrasikan
keselarasan syariah dengan logika `irfan sebagaimana juga keselarasan `irfan
dengan logika syariat".
Ayatullah Khomeini pernah
tinggal di pengasingan di Najaf, pada tahun 1972 di sana beliau menjalankan
tugasnya untuk mendidik murid-muridnya dalam hal akhlak dan keruhanian dengan
memberikan kuliah tentang "jihad besar", yakni perang melawan hawa
nafsu. Penting untuk diketahui bahwa kuliah-kuliah mengenai masalah ini
disampaikannya setelah ia menyelesaikan serangkaian kuliah lain mengenai sistem
politik wilayah al-faqih, dan bahwa risalah Jihad Al-Akbar
ini dianggapnya sebagai pelengkap bagi rangkaian kuliahnya yang terdahulu itu.
Bagi Ayatullah Khomeini, pendirian pemerintahan Islam tergantung dan ditujukan
pada penyucian spiritual masyarakat Muslim dan para pemimpinnya, yakni para
ulama. Kejayaan dalam jihad kecil --yakni perang atau revolusi yang
sesungguhnya-- sepenuhnya terkait dengan upaya-upaya jihad akbar ini.
Sejumlah besar proklamasi dan
pengarahan Ayatullah Khomeini mengenai berbagai masalah dan krisis aktual
masa-masa itu yang diungkapkannya sebelum dan setelah Revolusi, yang dikumpulkan
dalam 22 jilid buku berjudul Shahifa-yi Nur, juga mengandung banyak
rujukan kepada concern-concern `irfani dan akhlaki. Indeks tematik Shahifa-yi
Nur mendaftar tak kurang dari 700 paragraf panjang-pendek yang berhubungan
dengan `irfan. Misalnya, pada 22 Desember 1979, ketika berpidato di
depan masyarakat Qum, Ayatullah Khomeini menyatakan bahwa sukses Revolusi
adalah berkat "orientasi rakyat Iran kepada kehadiran Ilahi".
Belakangan,
pada masa agresi Irak, sang Ayatullah berulang-ulang menyebut para syuhada
sebagai telah pergi menuju "pertemuan dengan Allah" (liqa' Allah).
Hal ini penting jika dilihat kaitannya dengan risalah kecil yang pernah
ditulisnya --mengenai salah satu tema penting `irfan ini-- di sekitar
tahun 1930. Risalah ini diterbitkan sebagai suplemen bagi risalah lebih panjang
karya gurunya pada waktu itu, Aqa Javad Maliki Tabrizi, mengenai masalah yang
sama. Dalam 40 hadits ia membahas soal ini secara lebih panjang lebar
dengan menerangkan pertemuan dengan Allah sebagai bukan (bagian) pengetahuan
rasional tentang esensi Ilahi, melainkan "suatu penyaksian (syuhud)
`irfani yang menyeluruh yang dicapai lewat penglihatan batin (bashirah)".
Dia mengaitkannya dengan bagian dari Munajat Sya'baniyah --yang
membuka kata Pendahuluan ini. Artinya, Ayatullah Khomeini menganggap bahwa
dengan kematian mereka, para syuhada itu telah mengoyak "hijab-hijab (yang
menutupi) cahaya demi mencapai sumber Keagungan (Allah Swt.)".
Di atas semuanya itu, bukti
paling kuat keterkaitan Ayatullah Khomeini terhadap `irfan di masa-masa pasca-Revolusi adalah kuliah-umumnya di
depan televisi mengenai tafsir Surah Al-Fatihah pada tahun 1979, edisi
Indonesia telah diterbitkan oleh Penerbit Mizan berjudul Rahasia Basmalah dan Hamdalah, 1994.
Meski pada saat itu Republik Islam Iran yang baru berdiri masih menghadapi
masalah-masalah politik yang amat serius, Ayatullah Khomeini --lewat acara
televisinya itu-- masih merasa perlu untuk menguraikan topik-topik kunci dalam `irfan, khususnya mengenai modus-modus tajalliyat (penampakan) Allah dan makna Asma-Nya.
Bahkan Ayatullah Khomeini
merasa perlu membawa-bawa persoalan `irfan
ini dalam persoalan politik luar negeri. Dalam suratnya kepada Mikhail
Gorbachev, pemimpin Uni Soviet, bertanggal 4 Januari 1988, ia tidak saja
meramalkan keruntuhan Komunisme. Lebih jauh ia memperingatkan Gorbachev
mengenai kejatuhan negerinya ke dalam kekacauan spiritual dan etis. Untuk
mengatasi persoalan negerinya, Khomeini mengundang para pakar Soviet ke Qum
untuk mempelajari pemikiran para hukama
Islam, seperti Ibn Sina, Suhrawardi, Mulla Shadra, dan Ibn `Arabi.
Akhirnya, kiranya perlu
disinggung serba sedikit beberapa dokumen yang ditulis Ayatullah Khomeini
menjelang wafatnya. Pertama adalah wasiatnya untuk rakyat Iran, yang diterbitkan pada 3 Juni 1989.
Secara umum wasiat ini berisi nasihat sang Imam kepada berbagai kelompok rakyat
Iran
dan peringatan mengenai masalah-masalah yang mungkin mereka hadapi
sepeninggalnya. Yang menarik, di samping mengutip hadits al-tsaqalayn,
dalam pembukaan wasiatnya itu Ayatullah Khomeini merujuk kepada istilah
"nama yang terpelihara" (al-ism al-musta'tsar) Allah. Makna
istilah ini, yang aslinya terdapat dalam salah satu munajat Nabi
Muhammad SAW., dapat diringkaskan sebagai nama (atau rangkuman nama-nama) Tuhan
yang terkait dengan sifat-sifat-Nya dan tak akan pernah terungkap karena
"ditahan" dalam khazanah pengetahuan-tersembunyi Allah mengenai
Dirinya Sendiri. Seperti dinyatakan oleh Ayatullah Muhammadi Gilani, rujukan
Ayatullah Khomeini kepada "nama-nama yang terpelihara" ini bermakna
bahwa ia ingin mendorong penanaman `irfan dikalangan bangsa Iran
sebagai bagian tak terpisahkan dari warisannya. Bahwa, dengan merujuk kepadanya
dan juga kepada asma-Nya yang lain, ia seolah ingin menunjukkan bahwa bahkan
perjuangan sosial-politik --yang menjadi kandungan-utama wasiatnya itu-- selalu
harus diidentikkan dengan aktus-aktus (tindakan-tindakan) Ilahi dan ditumbuhkan
atas akar `irfani sedemikian.
Di atas semuanya itu, yang
nyata-nyata bersifat `irfani adalah wasiatnya kepada menantu
perempuannya, Fathimah Thabathaba'i, dan putranya, Sayyid Ahmad Khomeini, serta
puisi-puisi yang ditulisnya. Yang disebut terakhir ini seolah merupakan
ungkapan untuk menyambut tibanya persatuan antara dirinya dengan Tuhan
kekasihnya, sesuatu yang selalu didambakannya.
Selain konsen dengan masalah ilmu
keTuhanan, Imam Khomweini juga begitu konsen terhadap kepentingan wanita,
kedudukannya, martabatnya, haknya, keberadaannya serta tak lupa pula kewajiban
yang menyertai hak-hak wanita tersebut. Pidato-pidato Imam khomeini senantiasa
tidak pernah luput berbicara mengenai wanita, setidaknya berupa pesan singkat
tentang kewanitaan.
Imam
Khomeini telah menyaksikan sendiri munculnya asumsi-asumsi konservatif yang
melihat wanita sebagai unsur yang lemah yang harus disembunyikan dari pandangan
banyak orang. Di sisi yang lain, dengan kejeniusannya yang mengagumkan beliau
mengetahui dengan baik peranan yang harus dimainkan oleh wanita yang diinginkan
oleh Syi’ah (mantan penguasa Iran)
dan kolonial untuk merusak masyarakat Islam dan menjadikannya mundur, sehingga
wanita kehilangan jati dirinya dan putus asa serta merasa disia-siakan.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan
pada pembahasan makalah kami diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Imam
Khomeini merupakan tokoh Islam yang pemikirannya memberikan pengaruh besar
terhadap perkembangan Islam. Salah satunya dibidang ketasawufan, yang
teorinya-dalam bidang tersebut-dikenal luas,yaitu tentang empat perjalanan (al-ashfar al-arba’ah). Imam Khomeini
lebih dekat kepada `irfan (ilmu
keTuhanan) dan Hikmah. Selain konsen dengan masalah ilmu keTuhanan ini, Imam
Khomweini juga begitu konsen terhadap kepentingan wanita, kedudukannya,
martabatnya, haknya, keberadaannya serta tak lupa pula kewajiban yang menyertai
hak-hak wanita tersebut. Pidato-pidato Imam khomeini senantiasa tidak pernah
luput berbicara mengenai wanita, setidaknya berupa pesan singkat tentang
kewanitaan.
DAFTAR PUSATAKA
Yamani, 2002, Wasiat Sufi Imam
Khomeini Kepada Putranya, Ahmad Khomeini,
Bandung
: Mizan.
Al-Kaff, 2004,Muhammad Abdul Kadir, Kedudukan
Wanita Dalam Pandangan Imam Khomeini Terj.
Dari “Makanah Al-Mar’ah fi Fikr al
Imam al Khomeini”, Jakarta:
Lentera Basritama.