Wednesday, December 19, 2012

Dalam Dekapan Rindu



Dalam Dekapan Rindu

perlahan rasa itu telah merasuk dalam jiwa
menelusup keseluruh raga, memenuhi seluruh rongga
hingga kurasa resah dan gelisah

ku rasakan kerinduan begitu mendalam mendekapku begitu eratnya
merasuk jauh ke lerung jiwa, hingga membuatku takberdaya
akal ku tak lagi mampu membendung seluruh gelora dijiwa
di benakku hanya terngiang satu jiwa penuh pesona
yang memberikan ku kedamaian
dalam setiap kata dan senyummu

wahai engkau yang telah meruntuhkan dinding kehampaan
yang telah menyemarkkan ruang kesunyian
yang menorehkan warna keindahan
padamu hati ini kuperuntukkan

Tuhan, ku bermohon
berikanlah ku kesempatan tuk bersamanya mengarungi hidup
hingga Engkau memisahkan
dalam kedamaian ketika kembali ke hadap Mu

dari ku untuk mu bidadariku

Sunday, December 16, 2012

Salam Perpisahan


Catatan Kecil

oleh Abdus Salam pada 16 Desember 2012 pukul 16:57

akhirnya semua akan tiba pd suatu hari yg biasa
pd suatu ketika yg telah lama kita ketahui
apakah kau masih selembut dahulu
sambil membenarkan letak leher kemejaku
kabut tipis pun turun pelan-pelan dilembah kasih
lembah persahabatan
kau dan aku tegak berdiri
melihat hutan-hutan yg menjadi suram
meresapi belaian angin yg menjadi dingin
apakah kau akan membelai seperti dahulu
ketika q dekap, kau dekaplah lebih mesra, lebih dekat
apakah kau masih akan tersenyum
melihat kekurangan dan kelebihan ini
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta dan persahabatan

"Ingatlah kawan, kita pasti akan berpisah suatu saat nanti, tetaplah berjuang kapan dan dimana pun kamu berada, kami akan disamping mu sampai kesuksesan itu datang"

For Teman-teman Mahasiswa Syariah angkatan 08 And HMI Komisariat Syariah.

Saturday, December 8, 2012

Istishab

Istishab


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar bekakang
Dalam menetapkan hukum yang tidak ada nasnya dalam Al-quran dan As-sunah  para ahli mengerahkan segenap kemampuan nalarnya untuk menetapkan suatu hukum yang disebut ijtihad. Dalam berijtihad, para mujtahid itu merumuskan cara atau metode dalam berijtihad. Ada beberapa macam metode ijtihad hasil rumusan mujtahid. Diantaranya : Istihsan, Istishab, Mashlahah Mursalah, `Urf, Sadduzara`i, Mazhab Sahabat dan Syar`u man Qablana. Dari sekian banyak metode atau cara ijtihad yang dikemukakan tidak semunya disepakati penggunaanya oleh ulama, dalam berijtihad seringkali hasil ijtihad mereka berbeda dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad.
Dengan metode-metode tersebut para ulama banyak mengemukakan kedah-kaedah ushul untuk mempermudah menemukan hukum yang tidak ada nasnya dalam alquran maupun hadist.
1.2. Batasan Masalah
                   Dari uraian singkat tersebut diatas jelas bahwa terdapat banyak cara atau metode yang digunakan para mujtahid untuk berijtihad di antaranya yaitu, Istihsan, Istishab, Mashlahah Mursalah, `Urf, Sadduzara`i, Mazhab Sahabat dan Syar`u man Qablana. Namun dalam hal ini fokus pembahasan hanya sekitar Istishab.
1.3. Rumusan Masalah
                   Adapun rumusan masalah yang dapat diambil dari permasalahan Istishab yaitu :
-   Apa pengertian Istishab ?
-   Bagaimana kehujjahan Istishab ?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Istishhab
            Istishhab menurut bahasa berasdal dari kata subhah yang berarti menemani atau menyertai. Namun sebagian buku ushul menyatakan Istishhab menurut bahasa sebagai berikut :
1.       Ilmu ushul fiqih oleh Bapak Prof. Dr. H. Rahmat Syafi’i, M.A “Mengakui adanya hubungan perkawinan”
2.       Ushul fiqih oleh Bapak Prof. Mohammad Abu Zahra “ Persahabatan dan kelanggenan persahabatan”[1]
3.       Ilmu ushul fiqih oleh syekh Abu wahab Khallaf “ Pengakuan adanya perhubungan[2]
         Sedangkan menurut istilah Istishhab adalah Hukum terhadap Sesutu dengan keadaan yang ada sebelumnya, sampai adanya dalil, untuk mengubah keadaan itu. atau menjadikan hukaum yang tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang, sampai ada dalil muntuk mengubahnaya.
Dari pengertian diatas, mungkin susah dipahami, sehingga memerlukan contoh yang kongkrit, seorang mahasiswa misalnya menyandang predikat mahasiswa apabila dia diketahui memasuki bangku kuliah, predikat tetap melekat padanya berdasrkan istishab sampai ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan status, untuk mendapatkan predikat mahasiswa tersebut, tidak perlu ditetapkan setiap tahun atau setiap bulan.
Istishab merupakan salah satu hal yang menjadi peredebatan para ulama, didalam pemberlakuan menjadi sumber hukum dalam mengistimbatkan hukum. Memang secara akal sehat dengan mudah dapat mendukung penggunaan Istishab, sebagai contoh : “ Apabila si Fulan jelas menjadi suami resmi dari seorang perempuan, maka dengan sendirinya berarti antara kedua orang terjalin ikatan perkawinan, sampai terjadi perceraian, Istishhab bisa diterima sebagai sumber hukum dilihat dari segi syara’ yaitu ternyata berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum syara disimpulkan bahwa hukum-hukum itu tetap berlaku sesuai dengan dalil yang ada sampai ada dalil yang lain mengubahnya. Anggur memabukka, berdasarkan ketetapan dan syara’ adalah minuman haram kecuali apabilah telah berubah sifatnya, yakni iskar, baik dicampuran atau berubah dengan sendirinya menjadi cuka.
Dengan Istishab ulama banyak menetapkan kaeadah ushul, yang dijadikan sebagai pertimbangan dalam menetapkan sesuatu hukum. Adapun macam-macam istishab diklasifikasikan memenjadi dua macam yaitu :
pertama, istishab yang melangsungkan berlakunya hukum akal mengenai kebolehan atau bebas asal, pada saat tidak dijumpainya dalil yang mengubahnya. Segala macam makanan dan minuman yang tidak terdapat dalil syara’ tentang keharamannya, adalah mubah atau halal, sebab Allah menciptakan segala sesuatu dibumi ini agar dapat diambil mamfaatnya oleh manusia. Hal ini sesuai dengan kaedah ushul fiqih yang dibangun oleh ulama :
ﻻﺼﻝﻓﻰﻻﺸﻴﻻﺒﺤﺔ
Artinya : Sesugguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah kebolehan.[3]
Dan ini juga sesuai dengan Firman Allah dalam Al-qu’an dalam surah Al-baqarah
ﻫﻭﻠﺫﻯﺨﻠﻕﻠﻜﻡﻤﻔﻰﻻﺭﺽﺠﻤﻴﻌ
­Arinya : “Dialah Allah Yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu..”(al-baqarah :29)
Kedua, Istishab yang melangsungkan berlakunya hukum syara’ berdasarkan sesuatu dalil, dan tidak ada dalil yang lain yang mengubahnya, misal, jika seorang telah berwudhu, kemudian ragu –ragu apakah wudhunya telah batal atau belum maka ia dihukumi belum batal, dengan dasar keadaan wudhu sebelumnya yang diyakini. Adapun kaedah yang dibangun oleh ulama yang berhubungan dengan hal ini yaitu :
ﺍﻠﻴﻗﻴﻥﻻﻴﺯﺍﻝﺒﺎﻠﺸﻙ
Artinya : Sesuatu yang meyakinkan tidak hilan karena keraguan.
Walaupu ulama yang lain menberikan tanggapan yang berbeda pula mengenai macam-macam istishab, mereka ada yang membagi istishab kedalam tiga macam, namun hal ini tidak menjadi persoalan karena semua macam-macam istishab tersebut yang diungkapkan oleh para ulam memiliki makna yang sama.
2.2. Kehujjahan Al-Istishhab
                                            Mengenai kehujjahan Istishhab para ulama berbeda pendapat ada yang menerima al-istishhab dan ada yang menolak al-istishhab. Argumen ulama yang menerima Istishhab adalah bahwa dalam muamalah dan pengelolaan harta, manusia memberlakukan adat yang sudah berlaku di antara mereka, ia dapat dijadikan dasar menentukan hokum tersebut selama tidak ada dalil yang mengubahnya, hal ini sesuai dengan Al-quran surah Al-barah ayat 29.
                                            Ulama yang menerima al-istishhab dapat dibedakan menjadi tiga :
a.       Jumhur ulama yang dipelopori oleh imam malik, sebagian ulama syafi’iah dan hanafiah berpendapat bahwa istishhab dapat dijadikan hujjah ketika tidak ada nas atau dalil dari Al-quaran,hadist, ijmak,qias. hukum yang ada tetap berlaku sepanjang belum ada dalil yang mengubahnya
b.      Sebagian ulama Hanafi’ah dan Syafi’ah.berpendapat bahwa istishhab bukankah dalil untuk menentukan hukum yang sekarang, ia sekedar mengetahui hukum masa lalu. Sedangkan untuyk menentukan hukumnya sekarang ini, ia memerlukan dalil.
c.       Jumhur ulama hanafiah berpendapat bahwa istishhab adalah untuk menetapkan (dirinya sendiri) dan bukan untuk menetapkan yang lain.
                   Sedangkan argument ulama yang menolaknya adalah bahwa penentuan halal, haram, dan sucinya sesuatu memerlukan dalil yang dalil itu tidak dapat kecuali dari “syari’’. Dalil-dalil syari tercakup dalam nas Alquran dan Sunnah, ijmak, dan Qias. Dan istishhab tidak masuk dalil syari.
                               Istishhab merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Dan para ahli ilmu ushul figih berkata seungguhnya istishhab merupakn akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang mengubahnya.
                               Istishhab tidak menetapkan sesuatu hukum baru lagi sesuatu hal, tetapi hanya melangsungkan berlakunya hukum akal tentang kebolehan (Ibahah) atau bebas asal (bar’at al-ashaliyah) atau melangsungkan hukum syara’ tentang sesuatu atas dasar terpenuhinya sebab terjadinya hukum. Oleh karena itu istishab hanya menjadi hujjah untuk melangsungkan hokum yang telah ada, tidak untuk menetapkan hukum baru yang sebelumnya belum ada.[4]
                  
BAB II
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
              Istishhab adalah Hukum terhadap Sesutu dengan keadaan yang ada sebelumnya, sampai adanya dalil, untuk mengubah keadaan itu. atau menjadikan hukaum yang tetap di masa yang lalu itu, tetap dipakai sampai sekarang, sampai ada dalil muntuk mengubahnaya.
              Istishhab ada  dua macam yaitu : pertama, istishhab yang melangsungkan berlakunya hukum akal mengenai kebolehan atau bebas asal, pada saat tidak dijumpainya dalil yang mengubahnya. Segala macam makanan dan minuman yang tidak terdapat dalil syara’ tentang keharamannya, adalah mubah atau halal,sesuai dengan kaedah ushul.
ﻻﺼﻝﻓﻰﻻﺸﻴﻻﺒﺤﺔ
Artinya : Sesugguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah kebolehan.
Kedua, Istishhab yang melangsungkan berlakunya hukum syara’ berdasarkan sesuatu dalil, dan tidak ada dalil yang lain yang mengubahnya
             Istishhab tidak menetapkan sesuatu hukum baru lagi sesuatu hal, tetapi hanya melangsungkan berlakunya hukum akal tentang kebolehan (Ibahah) atau bebas asal (bar’at al-ashaliyah) atau melangsungkan hukum syara’ tentang sesuatu atas dasar terpenuhinya sebab terjadinya hukum.
3.2. Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA

~ Abu Zahra Muhammad ,Prof.,2002, Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus,
~ Khallaf,Abdul Wahhab ,Prof.994, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, Dina Utama,
~ Mubarok, Jain, 2002, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta, UII Press,
~ Rahmat,Jalaluddin, 1994, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung, Mizan,


[1] Prof. Muhammad Abu Zahra,2002, Ushul Fiqh, Cet VII, Jakarta, Pustaka Firdaus,
[2] Prof. Abdul Wahhab Khallaf, 1994, Ilmu Ushul Fiqh, Cet I Semarang, Dina Utama,
[3] Jain Mubarok, 2002, Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Cet I, Yogyakarta, UII Press,
[4] Jalaluddin Rahmat, 1994, Ijtihad Dalam Sorotan, cet III, Bandung, Mizan,

Pembaruan Pemikiran Persatuan Islam (Persis)



 Pembaruan Pemikiran Persis
Oleh : Hamrullah

PENDAHULUAN

Indonesia kaya akan keanekaragaman budaya dan berbagai macam sejarah.Menelaah kembali asal usul dan perkembangan dari berbagai organisasi pembaharuan dalam bidang social dan pendidikan, bahwa tiap organisasi tersebut mempunyai sifatnya sendiri-sendiri yang dibentuk oleh lingkungannya. Lahirnya berbagai macam organisasi Islam di Indonesia sangat memberikan sikap nasionalisme dan patriotisme.
Dalam hal ini terkait dengan organisasi Islam di Indonesia sangat berpengaruh dalam kemajuan Islam yang memberikan sumbangsih kepada pembaharuan Islam di Indonesia sejah zaman dulu. Pada makalah ini masalah yang terkait mengenai keberdaan organisasi Islam yang salah satunya adalah Persatuan Islam Persis.
Organisasi Persatuan Islam (Persis) ini akan menjadi pembahasan yakni; meliputi bagaimana sejarah Persatuan Islam dan apa yang diberikan oleh Organisasi ini kepada Negara pada masanya tersebut. Semoga dalam makalah ini akan memberikan pengetahuan kepada kita.

PEMBAHASAN
A.  Sejarah Persatuan Islam
Tampilnya jam'iyyah Persatuan Islam (Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan Islam. Persis lahir sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid'ah, takhayul, syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam. Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya gerakan "reformasi" Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indonesia untuk melakukan pembaharuan Islam.
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920-an ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih maju dalam berusaha untuk mengadakan pembaharuan dalam agama. Bandung kelihatan agak lambat memulai pembaharuan ini dibandingkan dengan daerah-daerah lain’ sungguhpun Sarekat Isalam telah beroperasi dikota ini semenjak tahun 1913. kesadaran tentang keterlambatan ini merupakan cambuk untuk mendirikan sebuah organisasi.
 Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan ciri dan karateristik yang khas. Kelompok tadarus ini bersifat kenduri yang diadakan secara berkala di rumah salah satu seorang kelompok yang berasal dari Sumatera tetapi yang telah lama tinggal di Bandung. Mereka adalah keturunan dari tiga keluarga yang pindah dari Palembang dalam abad ke 18, dan menjalin hubungan erat melalui perkawinan antar keluarga mereka serta diperkuat oleh kepentingan yang sama dalam usaha perdagangan, kemudian berlanjut dengan kontak antara anggota-anggota generasi yang datang kemudian dalam mengadakan studi tentang agama ataupun kegiatan-kegiatan lainnya. Tetapi mereka tidak merasa lagi bahwa mereka dari Sumatera, tetapi telah merasa sebagai benar-benar orang Sunda sehari-hari berbicara bahasa Sunda.[1]
Kelompok tadarusan yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus ini dari lingkungan ketiga familia tadi memang mempunyai pengetahuan yang agak luas. Kedunya sebenernya adalah pedagang tetapi mereka masih mempunyai kesempatan dan waktu untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang Islam. Zamzam (1894-1952) menghabiskan waktunya selama tiga setengah tahun masa mudanya di Makkah di mana ia belajar di lembaga Darul-Ulum. Sekembali dari Makkah ia menjadi guru di Darul Muta’allimin, sebuah sekolah agama di Bandung (ssekitar tahun 1910) dan memjpunyai hubungan dengan Syekh Ahmad Surkati dari Al-Irsyad di Jakarta. Tetapi ia hanya dua tahun saja di sekolah ini. Muhammad Yunus, yang memperoleh pendidikan agama secara tradisional dan mengusai bahasa Arab, tidak pernah mengajar. Ia hanya berdagang, tetapi tidak pernah pula minatnya hilang dalam mempelajari agama. Kekayaanya menyanggupkan ia untuk membeli kitab-kitab yang ia perlukan, juga untuk anggota-anggota Persis setelah organisasi ini didirikan.[2]
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama "Persatuan Islam" (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengembalikan umat Islam kepada tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits yaitu: mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita=cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : "Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai". Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, "Kekuatan Allah itu bersama al-jama'ah".[3]

B.  Tujuan dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam'iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936 untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan untuk menyebarkan agama. Usaha ini merupakan inisiatif Hassan, pesantren ini di pindahkan kepada Bangil, Jawa Timur, ketika Hassan pindah kesana dengan membawa 25 dari 540 siswa dari Bandung. Pesantren Persis ini berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi.5.Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.[4]

C.  Kepemimpinan
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll. Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama'ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi'ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya. 
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis). Pada masa ini terdapat perbedaan yang ckup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.

D. Persis Masa Kini
Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
Dibawah kepemimpinan KH. Shiddiq Amien, anggota dan simpatan Persis beserta otonomnya tercatat kurang lebih dari 3 juta orang yang tersebar di 14 propinsi dengan 7 Pimpinan Wilayah, 33 Pimpinan Daerah, dan 258 Pimpinan Cabang. Bersama lima organisasi otonom Persis, yakni Persatuan Islam Istri, (Persistri) Pemuda Persis, Pemudi Persis, Himpunan Mahasiswa (HIMA) Persis, dan Himpunan Mahasiswi (Himi) Persis, aktifitas Persis telah meluas ke dalam aspek-aspek lain tidak hanya serangkaian pendidikan, penerbitan dan tabligh, akan tetapi telah meluas ke berbagai bidang garapan yang dibutuhkan oleh umat Islam melalui bidang pendidikan (pendidikan dasar/menengah hingga pendidikan tinggi), da'wah, bimbingan haji, perzakatan, sosial ekonomi, perwakafan, dan perkembangan fisik yakni pembangunan-pembangunan masjid dengan dana bantuan kaum muslimin dari dalam dan luar negri, menyelenggarakan seminar-seminar, pelatihan-pelatihan, dan diskusi (halakoh) pengkajian Islam. Demikian pula fungsi Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan hukum Islam di kalangan Persis serta Dewan Hisab dan Dewan Tafkir semakin ditingkatkan aktifitasnya dan semakin intensif dalam penelaahan berbagai masalah hukum keagamaan, perhitungan hisab, dan kajian sosial semakin banyak dan beragam.

PENUTUP
            Berdasarkan uraian maka dapat disimpulkan bahwa Persatuan Islam merupakan organisasi Islam yang berdiri di Bandung, yang pada saat itu keadaannya memang lambat dalam mengadakan pembaharuan dalam agama. Walaupun, sebenarnya organisasi lain yang pada saat itu sudah ada. Kesadaran tentang hal keterlambatan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya Persatuan Islam. Persatuan. Persatuan Islam pada masanya berusaha untuk memajukan agama Islam dan mengembalikan Syari’at Islam kepada asal muasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan hingga kinipun Persis mampu berdiri tegak dalam meluruskan Syari’atau Islam dalam berbagai macam hal ataupun masalah yang ada dinegara kita Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Asrohah, Harun, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos,1999
Djamaluddin.dkk, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia,1998
Zuhairi.dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara,1997

[1] Zuhairi.dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hal: 187
[2]Ibid, hal: 187
3 Harun Asrohah.M.Ag, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Logos, 1999 ), hal: 37
[4] Djamaluddin.dkK, Kapita Selekta Pendidikan Islam, ( Bandung: Pustaka Setia, 1998 ), hal: 81

Pemikiran Imam Komaini

Pemikiran Imam Komaini
Oleh : Ani Rahayu

PENDAHULUAN

Pada akhir tahun 70-an dunia diguncangkan oleh sebuah revolusi yang digerakkan oleh seorang ulama. Republik Iran yang begitu kuat di bawah kepemimpinan Syah akhirnya harus tumbang melalui perjuangan panjang ulama tersebut. Ulama itu, tak lain adalah Imam Khomeini, seorang sufi, teolog, fakih, filosof dan sekaligus politikus. Seorang pribadi besar, yang kokoh dalam pendirian dan keteguhan perjuangan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tanpa mengenal putus asa.
Ayatullah Khomeini lahir di Khomein. Khomein, merupakan dusun yang berada di Iran tengah. Keluarga Khomeini adalah keluarga Sayyid Musawi, keturunan Nabi melalui jalur Imam ketujuh Syi’ah, Imam Musa Al-Kazhim. Mereka berasal dari Neysyabur,  Iran timur laut. Pada awal abad kedelapan belas, keluarga ini bermigrasi ke India, dan mukim di kota kecil Kintur di dekat Lucknow di kerajaan Qudh, yang penguasanya adalah pengikut Syi’ah Dua Belas Imam. Kakek Sayed Ruhullah Khomeini yang bernama Sayyid Ahmad Musawi Hindi, lahir di Kintur . Keluarga kakeknya adalah keluarga ulama terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi Neysyaburi, yang karyanya, Abaqat Al-Anwar, jadi kebanggan Syi’ah India.
            Mulanya Imam Khomeini adalah seorang filsofot-‘arif dari Iran abad ketujuh belas. Nama aslinya adalah Shadr Al-Din Muhammad ibn Ibrahim Al-Syirazi. Beliau biasa dipanggil Mulla Shadra. Ayatullah Khomeini dikenal luas lewat torinya tentang empat perjalanan (al-ashfar al-arba’ah). Menurut teori ini, perjalanan manusia paripurna dalam kehiupan ini terdiri dari empat tahap. Pertama, perjalanan dari alam ciptaan menuju Allah. Kedua, perjalanan demi Allah. Ketiga, perjalanan kembali dari Allah menuju ciptaan, kali ini bersama Allah. Dan terakhir, keempat, perjalanan dalam ciptaan bersama Allah.
            Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana riwayat hidup Imam Khomeini yang sebagian besar masa hidupnya dihabiskan untuk “karir” sebagai pelajar, guru, penulis karya tasawuf dan lain sebagainya, maka kami pemakalah akan mencoba dengan keterbatasan pengetahuan kami untuk sedikit memaparkannya.

PEMBAHASAN

Imam Khomeini adalah seorang tokoh Islam yang pemikirannya tidak dapat dipungkiri memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan Islam itu sendiri di kemudian hari. Pemikiran-pemikiran Imam Ruhullah Ayatullah Khomeini yang lahir pada 20 Jumada Al-Tsaniyah 1320/24 September 1902 --bersamaan dengan ulang tahun kelahiran Siti Fathimah Al-Zahra bin Muhammad Saw.--sebagaimana tercantum dalam buku “Wasiat Sufi Imam Khomeini Kepada Putranya, Ahmad Khomeini”. Sebagai sebuah wasiat, tentu saja ia tak terlalu panjang dan mungkin bisa saya selesaikan dalam 20 hari. Isinya luar biasa mendalam karena kandungan tasawufnya. Pada saat yang sama, ia menyimpan emosi mendalam yang ada di hati penulisnya ketika menuangkan baris-baris tulisannya itu. Lebih dari itu, pilihan kata-katanya tak kurang puitis. Memang, hampir berkebalikan dengan kesan yang dimiliki banyak orang tentang tokoh ini, dia dikenal sejak mudanya sebagai seorang sufi --atau, seorang `arif, sebuah istilah bermakna hampir sama yang dipakai di Iran, tempat kelahiran dan kiprah sang tokoh. Bahkan, jauh sebelum namanya dikenal --dalam makna baik maupun buruk-- sebagai seorang faqih (ahli fiqih) dan seorang pemimpin revolusi --beliau adalah seorang murid dan penulis buku-buku sufi yang amat serius. Beberapa orang orientalis telah secara khusus dan mendalam mendedikasikan penelitian untuk mengeksplorasi sisi yang tak banyak dikenal dari tokoh kita ini.
            Imam Khomeini sering diidentikkan dengan fundamentalisme, kekerasan, dan autoritarianisme, sebaliknya dari menyebabkan penyangkalan dunia, justru menjadi basis bagi kegiatan-kegiatan keduniaannya. Cinta Allah sebagai sentral kehidupan seorang sufi, dalam tasawuf Imam Khomeini, mengambil wujud kecintaan kepada semua makhluk Allah. Dari sinilah kemudian terbentuk secara kuat keprihatinan Imam Khomeini terhadap kaum papa dan tertindas. Lebih dari itu, tasawufnya juga menekankan pada keluhuran akhlak dalam berhubungan dengan sesama. Meski tetap menekankan pada proses penyucian hati, sebagai satu-satunya bejana yang dapat menampung kebenaran-puncak, ciri penting lain tasawuf Imam Khomeini --bertentangan dengan kesan irasionalitas yang biasanya menempel pada disiplin ruhaniah ini-- adalah terpeliharanya apresiasi terhadap ilmu-ilmu rasional.
Kenyataannya, meski amat dipengaruhi oleh Ibn `Arab, tasawuf Imam Khomeini lebih dekat kepada `irfan (ilmu keTuhanan) dan Hikmah. Yang disebut belakangan ini adalah suatu aliran dalam filsafat Islam yang percaya bahwa kebenaran harus diperoleh lewat pengalaman spiritual (sufistik). Tetapi, pada saat yang sama, harus bisa diungkapkan dan dipertanggungjawabkan secara rasional. Secara garis besar dapat kita katakan bahwa tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis dari tasawuf. Tentu tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma'rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif. Yang kedua, tasawuf amali. Tujuannya adalah meningkatkan amal, akhlak. Tokohnya adalah Imam Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali, dalam beribadah, harus mencari makna terdalam atau asrar, rahasia, ibadah. Berbicara mengenai asrar atau hikmah beribadah, maka berbicara soal tasawuf. Kata Imam Al-Ghazali, ibadah jangan dikerjakan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan kewajiban. Misalnya shalat, harus dicari asrar shalat. Jika tidak paham rahasia shalat, maka tidak akan mencapai tujuan shalat itu sendiri; mencegah dari fahsya wal munkar. Mungkin kita mengerjakan shalat lebih sekedar hanya untuk memenuhi kewajiban. Kalau tidak dilakukan, berdosa. Akibatnya, dengan mengerjakan shalat, menjadi sangat mekanistis. Tapi tidak pernah memikirkan fungsi, apakah makna terdalam dari shalat?
Di dalam tradisi Syiah, dua tasawuf ini juga diadopsi, tasawuf falsafi dan tasawuf  'amali. Imam Ayatullah Khomeini juga menekankan dua hal ini. Beliau pernah membuat komentar mengenai kitab yang ditulis Ibnu 'Arabi, Fushusul Hikam, tapi orang Syiah banyak yang lebih menekankan pada tasawuf 'amali. Jadi dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Bahkan banyak juga orang Syiah yang menganut tasawuf Al-Ghazali, yang menekankan tasawuf 'amali.
Kecenderungan Ruhullah kepada hikmah dan `irfan bahkan tetap tampak nyata dalam berbagai upaya politiknya. Dalam Kasyf Al-Asrar, buku yang ditulisnya pada tahun 1945 untuk menjawab tuduhan-tuduhan kepada Syiah, ia tak hanya menghimpun ayat-ayat, hadits-hadits, dan argumentasi rasional, tetapi juga merujuk kepada para ahli hikmah dan `irfan, seperti Ibn Sina, Suhrawardi, Mulla Shadra. (Di buku yang sama ia mulai pula memperkenalkan pemikirannya yang belakangan termasyhur sebagai system).
 Pada Mei 1944, Ruhullah Musawi menerbitkan proklamasi-politiknya yang pertama. Ia memulainya dengan mengutip Al-Quran (QS Saba [34]:46), Katakan: "Aku memerintahkan kepadamu satu hal saja --yakni engkau bangkit demi Allah, berpasangan atau sendiri, kemudian berpikirlah." Ayat yang sama jugalah yang membuka kitab Manazil Al-Sa'irin karya Anshari --suatu buku pegangan pelancongan spiritual yang amat disukai Ruhullah Khomeini sejak masa-masa belajarnya dengan Shahabadi. "Bangkit demi Allah" dalam buku itu oleh Anshari didefinisikan sebagai "bangun dari tidur yang melenakan dan bangkit dari jurang ketakberdayaan". Sejalan dengan itu, Ruhullah Khomeini menyatakan bahwa dengan ayat ini "Allah `Azza wa Jalla telah menetapkan kebebasan umat manusia dari sifat kegelapan alam menuju titik terjauh kemanusiaan sejati", sedemikian sehingga perintah yang terkandung di dalamnya menjadi "jalan satu-satunya untuk reformasi di dunia ini". Selanjutnya, Ruhullah Khomeini menyatakan bahwa terciptanya kondisi-menyedihkan kaum Muslim merupakan akibat "bangkitnya mereka demi jiwa syahwaniyah" (sebuah istilah teknis dalam filsafat--Ym), dan bahwa hanya dengan "kebangkitan demi Allah"-lah persoalan-persoalan itu bisa diatasi. Di bidang fiqih pun, ajaran-ajarannya diwarnai dengan `irfan. Mengutip Sayyid Ahmad Fihri lagi, Imam Khomeini "cakap dalam mendemonstrasikan keselarasan syariah dengan logika `irfan sebagaimana juga keselarasan `irfan dengan logika syariat".
Ayatullah Khomeini pernah tinggal di pengasingan di Najaf, pada tahun 1972 di sana beliau menjalankan tugasnya untuk mendidik murid-muridnya dalam hal akhlak dan keruhanian dengan memberikan kuliah tentang "jihad besar", yakni perang melawan hawa nafsu. Penting untuk diketahui bahwa kuliah-kuliah mengenai masalah ini disampaikannya setelah ia menyelesaikan serangkaian kuliah lain mengenai sistem politik wilayah al-faqih, dan bahwa risalah Jihad Al-Akbar ini dianggapnya sebagai pelengkap bagi rangkaian kuliahnya yang terdahulu itu. Bagi Ayatullah Khomeini, pendirian pemerintahan Islam tergantung dan ditujukan pada penyucian spiritual masyarakat Muslim dan para pemimpinnya, yakni para ulama. Kejayaan dalam jihad kecil --yakni perang atau revolusi yang sesungguhnya-- sepenuhnya terkait dengan upaya-upaya jihad akbar ini.
Sejumlah besar proklamasi dan pengarahan Ayatullah Khomeini mengenai berbagai masalah dan krisis aktual masa-masa itu yang diungkapkannya sebelum dan setelah Revolusi, yang dikumpulkan dalam 22 jilid buku berjudul Shahifa-yi Nur, juga mengandung banyak rujukan kepada concern-concern `irfani dan akhlaki. Indeks tematik Shahifa-yi Nur mendaftar tak kurang dari 700 paragraf panjang-pendek yang berhubungan dengan `irfan. Misalnya, pada 22 Desember 1979, ketika berpidato di depan masyarakat Qum, Ayatullah Khomeini menyatakan bahwa sukses Revolusi adalah berkat "orientasi rakyat Iran kepada kehadiran Ilahi".  
            Belakangan, pada masa agresi Irak, sang Ayatullah berulang-ulang menyebut para syuhada sebagai telah pergi menuju "pertemuan dengan Allah" (liqa' Allah). Hal ini penting jika dilihat kaitannya dengan risalah kecil yang pernah ditulisnya --mengenai salah satu tema penting `irfan ini-- di sekitar tahun 1930. Risalah ini diterbitkan sebagai suplemen bagi risalah lebih panjang karya gurunya pada waktu itu, Aqa Javad Maliki Tabrizi, mengenai masalah yang sama. Dalam 40 hadits ia membahas soal ini secara lebih panjang lebar dengan menerangkan pertemuan dengan Allah sebagai bukan (bagian) pengetahuan rasional tentang esensi Ilahi, melainkan "suatu penyaksian (syuhud) `irfani yang menyeluruh yang dicapai lewat penglihatan batin (bashirah)". Dia mengaitkannya dengan bagian dari Munajat Sya'baniyah --yang membuka kata Pendahuluan ini. Artinya, Ayatullah Khomeini menganggap bahwa dengan kematian mereka, para syuhada itu telah mengoyak "hijab-hijab (yang menutupi) cahaya demi mencapai sumber Keagungan (Allah Swt.)".
Di atas semuanya itu, bukti paling kuat keterkaitan Ayatullah Khomeini terhadap `irfan di masa-masa pasca-Revolusi adalah kuliah-umumnya di depan televisi mengenai tafsir Surah Al-Fatihah pada tahun 1979, edisi Indonesia telah diterbitkan oleh Penerbit Mizan berjudul Rahasia Basmalah dan Hamdalah, 1994. Meski pada saat itu Republik Islam Iran yang baru berdiri masih menghadapi masalah-masalah politik yang amat serius, Ayatullah Khomeini --lewat acara televisinya itu-- masih merasa perlu untuk menguraikan topik-topik kunci dalam `irfan, khususnya mengenai modus-modus tajalliyat (penampakan) Allah dan makna Asma-Nya.
Bahkan Ayatullah Khomeini merasa perlu membawa-bawa persoalan `irfan ini dalam persoalan politik luar negeri. Dalam suratnya kepada Mikhail Gorbachev, pemimpin Uni Soviet, bertanggal 4 Januari 1988, ia tidak saja meramalkan keruntuhan Komunisme. Lebih jauh ia memperingatkan Gorbachev mengenai kejatuhan negerinya ke dalam kekacauan spiritual dan etis. Untuk mengatasi persoalan negerinya, Khomeini mengundang para pakar Soviet ke Qum untuk mempelajari pemikiran para hukama Islam, seperti Ibn Sina, Suhrawardi, Mulla Shadra, dan Ibn `Arabi.
Akhirnya, kiranya perlu disinggung serba sedikit beberapa dokumen yang ditulis Ayatullah Khomeini menjelang wafatnya. Pertama adalah wasiatnya untuk rakyat Iran, yang diterbitkan pada 3 Juni 1989. Secara umum wasiat ini berisi nasihat sang Imam kepada berbagai kelompok rakyat Iran dan peringatan mengenai masalah-masalah yang mungkin mereka hadapi sepeninggalnya. Yang menarik, di samping mengutip hadits al-tsaqalayn, dalam pembukaan wasiatnya itu Ayatullah Khomeini merujuk kepada istilah "nama yang terpelihara" (al-ism al-musta'tsar) Allah. Makna istilah ini, yang aslinya terdapat dalam salah satu munajat Nabi Muhammad SAW., dapat diringkaskan sebagai nama (atau rangkuman nama-nama) Tuhan yang terkait dengan sifat-sifat-Nya dan tak akan pernah terungkap karena "ditahan" dalam khazanah pengetahuan-tersembunyi Allah mengenai Dirinya Sendiri. Seperti dinyatakan oleh Ayatullah Muhammadi Gilani, rujukan Ayatullah Khomeini kepada "nama-nama yang terpelihara" ini bermakna bahwa ia ingin mendorong penanaman `irfan dikalangan bangsa Iran sebagai bagian tak terpisahkan dari warisannya. Bahwa, dengan merujuk kepadanya dan juga kepada asma-Nya yang lain, ia seolah ingin menunjukkan bahwa bahkan perjuangan sosial-politik --yang menjadi kandungan-utama wasiatnya itu-- selalu harus diidentikkan dengan aktus-aktus (tindakan-tindakan) Ilahi dan ditumbuhkan atas akar `irfani sedemikian.
Di atas semuanya itu, yang nyata-nyata bersifat `irfani adalah wasiatnya kepada menantu perempuannya, Fathimah Thabathaba'i, dan putranya, Sayyid Ahmad Khomeini, serta puisi-puisi yang ditulisnya. Yang disebut terakhir ini seolah merupakan ungkapan untuk menyambut tibanya persatuan antara dirinya dengan Tuhan kekasihnya, sesuatu yang selalu didambakannya.
Selain konsen dengan masalah ilmu keTuhanan, Imam Khomweini juga begitu konsen terhadap kepentingan wanita, kedudukannya, martabatnya, haknya, keberadaannya serta tak lupa pula kewajiban yang menyertai hak-hak wanita tersebut. Pidato-pidato Imam khomeini senantiasa tidak pernah luput berbicara mengenai wanita, setidaknya berupa pesan singkat tentang kewanitaan.[4]
            Imam Khomeini telah menyaksikan sendiri munculnya asumsi-asumsi konservatif yang melihat wanita sebagai unsur yang lemah yang harus disembunyikan dari pandangan banyak orang. Di sisi yang lain, dengan kejeniusannya yang mengagumkan beliau mengetahui dengan baik peranan yang harus dimainkan oleh wanita yang diinginkan oleh Syi’ah (mantan penguasa Iran) dan kolonial untuk merusak masyarakat Islam dan menjadikannya mundur, sehingga wanita kehilangan jati dirinya dan putus asa serta merasa disia-siakan.

PENUTUP
Kesimpulan

Dari pemaparan pada pembahasan makalah kami diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Imam Khomeini merupakan tokoh Islam yang pemikirannya memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan Islam. Salah satunya dibidang ketasawufan, yang teorinya-dalam bidang tersebut-dikenal luas,yaitu tentang empat perjalanan (al-ashfar al-arba’ah). Imam Khomeini lebih dekat kepada `irfan (ilmu keTuhanan) dan Hikmah. Selain konsen dengan masalah ilmu keTuhanan ini, Imam Khomweini juga begitu konsen terhadap kepentingan wanita, kedudukannya, martabatnya, haknya, keberadaannya serta tak lupa pula kewajiban yang menyertai hak-hak wanita tersebut. Pidato-pidato Imam khomeini senantiasa tidak pernah luput berbicara mengenai wanita, setidaknya berupa pesan singkat tentang kewanitaan.


DAFTAR PUSATAKA

Yamani, 2002, Wasiat Sufi Imam Khomeini Kepada Putranya, Ahmad Khomeini,  Bandung : Mizan.
http://abatasya.net/content/view/479/84, email tertanggal 23 January 2006.
Al-Kaff, 2004,Muhammad Abdul Kadir, Kedudukan Wanita Dalam Pandangan Imam Khomeini Terj. Dari “Makanah Al-Mar’ah fi Fikr al Imam al Khomeini”, Jakarta: Lentera Basritama.